Taufik tetap mengaku kaget ketika melihat perkembangan angklung yang sangat pesat. Ia mengatakan, orang Korea menilai angklung sebagai alat musik pendidikan yang mempunyai unsur kebersamaan. Karenanya, alat musik dari bambu ini cocok dipelajari siswa untuk meningkatkan kebersamaan.
Fakta tersebut berbanding terbalik dengan Indonesia. Sebagai negara asal, perhatian terhadap angklung tidak terlalu besar. Angklung belum tersebar banyak di Jawa Barat, apalagi Indonesia. ‘’Saya khawatir, suatu hari nanti, malah Korea yang memiliki master angklung,’’ tuturnya. Buktinya, beberapa waktu lalu pun Korea menggelar Festival Musik Angklung. Ironisnya, Indonesia tidak terlibat sama sekali bahkan mengaku tidak mengetahuinya.
Dari segi bisnis, permintaan angklung setiap tahun terus meningkat. Jumlah produksi SAU 20 ribu pieces per bulan, belum mampu memenuhi pasar. Untuk memenuhinya, SAU perlu meningkatkan kapasitas produksi hingga 30 ribu per bulan.
Taufik mengaku kesulitan masalah bahan baku. Biasanya ia memperoleh bambu dari Banten dan Majalengka, hal yang sulit ditemukan di Bandung. Bahkan, bambu yang ada di SAU lebih berfungsi sebagai hiasan.ren/bur
kalau bangsa lain aja mau membelajari budaya kita, kenapa kita engga? kita harus bisa membudidayakan dan mengembangkan kebudayaan warisan nenek moyang.
Source : Republika
Park Rara@Asianfansclub
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jika ada kesulitan dalam menulis komentar, lihat pada HOW TO pada bagian atas sebelah "beranda"